bersama dalam bahagia bersatu dalam duka

Selasa, 18 Juni 2013

Meditasi di Atas Pentas (Teater Pohon)


Salah satu legenda hidup yang bisa dijumpai di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, adalah Roedjito. Lelaki ini biasa dipanggil "Simbah" oleh siapa saja. Buat teman-teman sesama perupa, ia nyaris tak diperhitungkan.­ Bahkan kerap diejek sebagai pelukis tanpa lukisan. Tetapi, buat orang teater yang membutuhkan lahan untuk mengembangkan imajinasi dalam tiga dimensi, inilah "dukun"-nya.

Simbah seperti tukang sihir yang turun dengan perangkat apa adanya, tapi selalu mampu memindahkan mimpi para sutradara ke dalam panggung dengan nuansa-nuansa magis. Dengan latar belakang seni rupa, tetapi berbeda dengan seni-rupawan lain yang menjadi penata artistik, Roedjito tidak melukis atau mematung di atas pentas, tetapi menjadi arsitek batin. Ia melakukan meditasi.

Sebagai akibatnya, pementasan menjadi sebuah peristiwa spiritual, bukan sekadar pertunjukan untuk menghibur. Terlepas dari apakah itu berhasil atau gagal, langkahnya ini merupakan sebuah sumbangan yang membuat teater modern Indonesia kaya dan semarak. Teater menjadi terasa angker karena tidak hanya sekadar narasi, emosi, ekspresi, atau meditasi, tetapi juga sebuah ritus pencarian.

Simbah mengembangkan ideologi yang menyebut bahwa pementasan tidak tergantung atau bergantung pada teknologi dan fasilitas lainnya, tetapi kemauan jiwa. Dari sudut bidik itu, teater menyerupai ibadah. Ia menjadi makanan batin yang dapat melenturkan manusia dari dalam jiwanya.

Di atas pentas, Roedjito tidak membuat dekor, bukan menyulam hiasan, tak asyik dengan pernik-pernik, bahkan nyaris tak mempedulikan "rupa". Ia adalah seekor burung yang hendak membuatkan sarang bagi kreasi-kreasi yang hendak ditelurkan oleh kreator, baik kelas kakap seperti Rendra dan Arifin maupun para sutradara yang masih ingusan di Festival Teater Remaja, Jakarta.

Roedjito senang sekali "melayani" pertunjukan-per­tunjukan tradisi seperti topeng Cirebon, makyong, dan sebagainya, tetapi bersamaan dengan itu ia juga tidak gagap bersentuhan dengan berbagai pertunjukan tamu dari mancanegara. Bagaikan Semar di dalam pewayangan, Simbah seorang "pelayan" yang cerdas. Sentuhannya menjadi tenaga dalam yang memberikan nyawa dan energi rahasia kepada pertunjukan. Apa yang pernah tumbuh, besar, dan bergelora di tempat asal pertunjukan tersebut selalu dipelihara, diikutsertakan,­ dan tetap bisa dipertahankan geregetnya sehingga kreasi menjadi autentik.

Tapi itu bukan sesuatu yang mudah, meskipun Simbah selalu mencoba menjelaskannya secara sepele. Ia akan mengatakan bahwa segala sesuatu yang berasal dari tempat pertunjukan tersebut selalu akan menolong untuk membumikan pertunjukan itu di mana pun digelar. Itu sebabnya ia selalu membawa sesuatu yang berasal dari tempat latihan (tikar, tongkat, ranting, dan sebagainya) untuk dibaurkan dengan tempat dan lingkungan pertunjukan tersebut digelar.

Simbah berhasil menyelamatkan "warna lokal" ketika teknologi membuat manusia mengglobal sehingga idiom di mana-mana sudah hampir seperti bersaudara kembar. Bila ini terus bertumbuh, akan membuat teater Indonesia unik. Keunikan itu sekelebatan seperti sikap anti kepada teknologi, tetapi sebenarnya sama sekali bukan. Itu adalah sebuah upaya atau perlawanan pada keterbatasan sendiri.

Simbah memang seorang yang dekat dan mencintai alam. Ia senang sekali pada keseharian dan kebersahajaan. Dari sana, ia melakukan optimasi, sehingga lahir berbagai hal yang unik, mengejutkan, dan kemudian orisinal.

Bagi Roedjito, ruang adalah sebuah dunia yang berlapis-lapis,­ penuh dengan kemungkinan dan misteri. Ia tidak pernah memaksakan ide-idenya, tapi mencoba menggali dari apa yang sedang didandaninya. Dari lingkungannya, dari orang-orang yang diajaknya bekerja, ia melangsungkan proses. Bahkan juga dari lawan-lawannya.­ Tak putus-putusnya,­ sehingga ketika pementasan sudah selesai sesungguhnya ia baru memulai.

Bekerja dengan Simbah, jangan berharap akan mendapatkan bentuk-bentuk yang sudah terkonsep secara rapi, tapi semuanya terserah pada proses. Bahkan proses tersebut sedemikian terbukanya sehingga kreasi artistik Simbah menjadi tontonan pertumbuhan yang tak henti-henti. Proses itu terus mengalir tanpa diketahui di mana berhentinya. Sebuah panggung terbuka yang tak kenal tutup layar.

Dalam menata pentas, Simbah tidak hanya menjadikan pentas sebagai tempat bermain, tetapi permainan itu sendiri. Kreasi-kreasiny­a tidak berakhir sebagai bentuk, tapi sebagai konsep dan penafsiran. Kita merasakan ada ruang, ada cahaya, ada energi, ada tenaga yang dipancarkan oleh penataannya, sehingga saraf-saraf terangsang dan nafsu untuk berdialog juga muncul. Simbah berani melakukan dialog dengan apa yang sudah pernah dicapainya, sehingga penataan artistiknya terasa hidup, aktual, tetapi ramah.

Tak jarang Simbah mencoba diri dengan melakukan langkah-langkah­ pembalikan, sehingga terjadi distorsi dan ketidakseimbang­an. Namun, secara fantastis kemudian muncul harmoni baru yang memiliki dinamika lain yang tak jarang memberikan surprise. Petualangan batin tersebut membuat pesona yang sulit diterangkan, karena begitu dibicarakan menjadi kehilangan arti. Peristiwa batin itu hanya bisa dialami. Pada suatu kali, misalnya, ia pernah tiba-tiba menyarankan agar set yang dibuat untuk pertunjukan yang berjudul DOR (Teater Arena TIM) dibalik. Tokoh Hakim, pemain utama, ketika mengadili perkara disarankan membelakangi penonton, karena yang penting adalah para terdakwa. Ini langsung diprotes oleh pemain yang memerankan Hakim, karena ia merasa dirugikan lantaran selalu membelakangi penonton. Tetapi, apa yang terjadi kemudian menakjubkan. Setelah dibalik, muncul nuansa baru. Ternyata tokoh utama dalam cerita itu bukan Hakim melainkan Terdakwa.

Sebagai penata artistik, Simbah adalah seorang yang gampang-gampang­ angel. Ia bisa mengalir ke mana saja dengan lentur dan bahkan semena-mena, kalau ada kecocokan. Dalam keadaan seperti itu, ia menjadi seorang bapak, seorang kakak, seorang sahabat yang ramah dan ngemong. Tapi, kalau sudah terbentur pada soal-soal prinsip, ia bisa keras dan angkuh. Tak segan-segan meninggalkan pekerjaan.

Tak banyak penata artistik yang melihat dengan mata seperti Simbah. Visinya tentang ruang—yang bukan hanya sebagai tempat peristiwa berlangsung, tetapi pelaku peristiwa itu sendiri—membuat­ penataan artistik itu tidak lagi sekadar pelengkap, tetapi sudah merupakan sebuah teater tersendiri. Lama sebelum apa yang kini sangat populer sebagai karya instalasi dalam seni rupa, sebenarnya itu sudah dilaksanakan oleh Simbah secara diam-diam di TIM.

Hanya dengan layar robek-robek akibat diguyur hujan, kain-kain bekas dan batang-batang dolken atau bambu, Simbah sudah berhasil menelurkan berbagai nuansa yang mengingatkan kita pada apa yang terjadi dengan karya-karya yang menyebut dirinya instalasi sekarang ini. Simbah telah melakukan sebuah langkah besar untuk teate, yang masih belum tercatat oleh para pengamat.

Yang sudah mulai muncul sekarang adalah semacam gaya, meniru bagaimana Simbah memanfaatkan layar, wing, kain-kain, dan sebagainya. Idiom-idiom Simbah sudah menjadi "tradisi baru" dalam penataan artistik. Tapi, ada apa di balik gaya tersebut, alasan apa yang menyebabkan Simbah memposisikan teater sebagai sebuah peristiwa spiritual, masih belum tertangkap secara luas. (Putu Wijaya,Dramawan­ dan Sutradara/­Tempo, 29 Juni-05 Juli 2003)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar