Meditasi di Atas Pentas (Teater Pohon)
Salah
satu legenda hidup yang bisa dijumpai di Taman Ismail Marzuki (TIM),
Jakarta, adalah Roedjito. Lelaki ini biasa dipanggil "Simbah" oleh siapa
saja. Buat teman-teman sesama perupa, ia nyaris tak diperhitungkan.
Bahkan kerap diejek sebagai pelukis tanpa lukisan. Tetapi, buat orang
teater yang membutuhkan lahan untuk mengembangkan imajinasi dalam tiga
dimensi, inilah "dukun"-nya.
Simbah seperti tukang sihir yang
turun dengan perangkat apa adanya, tapi selalu mampu memindahkan mimpi
para sutradara ke dalam panggung dengan nuansa-nuansa magis. Dengan
latar belakang seni rupa, tetapi berbeda dengan seni-rupawan lain yang
menjadi penata artistik, Roedjito tidak melukis atau mematung di atas
pentas, tetapi menjadi arsitek batin. Ia melakukan meditasi.
Sebagai akibatnya, pementasan menjadi sebuah peristiwa spiritual, bukan
sekadar pertunjukan untuk menghibur. Terlepas dari apakah itu berhasil
atau gagal, langkahnya ini merupakan sebuah sumbangan yang membuat
teater modern Indonesia kaya dan semarak. Teater menjadi terasa angker
karena tidak hanya sekadar narasi, emosi, ekspresi, atau meditasi,
tetapi juga sebuah ritus pencarian.
Simbah mengembangkan
ideologi yang menyebut bahwa pementasan tidak tergantung atau bergantung
pada teknologi dan fasilitas lainnya, tetapi kemauan jiwa. Dari sudut
bidik itu, teater menyerupai ibadah. Ia menjadi makanan batin yang dapat
melenturkan manusia dari dalam jiwanya.
Di atas pentas,
Roedjito tidak membuat dekor, bukan menyulam hiasan, tak asyik dengan
pernik-pernik, bahkan nyaris tak mempedulikan "rupa". Ia adalah seekor
burung yang hendak membuatkan sarang bagi kreasi-kreasi yang hendak
ditelurkan oleh kreator, baik kelas kakap seperti Rendra dan Arifin
maupun para sutradara yang masih ingusan di Festival Teater Remaja,
Jakarta.
Roedjito senang sekali "melayani"
pertunjukan-pertunjukan tradisi seperti topeng Cirebon, makyong, dan
sebagainya, tetapi bersamaan dengan itu ia juga tidak gagap bersentuhan
dengan berbagai pertunjukan tamu dari mancanegara. Bagaikan Semar di
dalam pewayangan, Simbah seorang "pelayan" yang cerdas. Sentuhannya
menjadi tenaga dalam yang memberikan nyawa dan energi rahasia kepada
pertunjukan. Apa yang pernah tumbuh, besar, dan bergelora di tempat asal
pertunjukan tersebut selalu dipelihara, diikutsertakan, dan tetap bisa
dipertahankan geregetnya sehingga kreasi menjadi autentik.
Tapi itu bukan sesuatu yang mudah, meskipun Simbah selalu mencoba
menjelaskannya secara sepele. Ia akan mengatakan bahwa segala sesuatu
yang berasal dari tempat pertunjukan tersebut selalu akan menolong untuk
membumikan pertunjukan itu di mana pun digelar. Itu sebabnya ia selalu
membawa sesuatu yang berasal dari tempat latihan (tikar, tongkat,
ranting, dan sebagainya) untuk dibaurkan dengan tempat dan lingkungan
pertunjukan tersebut digelar.
Simbah berhasil menyelamatkan
"warna lokal" ketika teknologi membuat manusia mengglobal sehingga idiom
di mana-mana sudah hampir seperti bersaudara kembar. Bila ini terus
bertumbuh, akan membuat teater Indonesia unik. Keunikan itu sekelebatan
seperti sikap anti kepada teknologi, tetapi sebenarnya sama sekali
bukan. Itu adalah sebuah upaya atau perlawanan pada keterbatasan
sendiri.
Simbah memang seorang yang dekat dan mencintai alam.
Ia senang sekali pada keseharian dan kebersahajaan. Dari sana, ia
melakukan optimasi, sehingga lahir berbagai hal yang unik, mengejutkan,
dan kemudian orisinal.
Bagi Roedjito, ruang adalah sebuah dunia
yang berlapis-lapis, penuh dengan kemungkinan dan misteri. Ia tidak
pernah memaksakan ide-idenya, tapi mencoba menggali dari apa yang sedang
didandaninya. Dari lingkungannya, dari orang-orang yang diajaknya
bekerja, ia melangsungkan proses. Bahkan juga dari lawan-lawannya. Tak
putus-putusnya, sehingga ketika pementasan sudah selesai sesungguhnya
ia baru memulai.
Bekerja dengan Simbah, jangan berharap akan
mendapatkan bentuk-bentuk yang sudah terkonsep secara rapi, tapi
semuanya terserah pada proses. Bahkan proses tersebut sedemikian
terbukanya sehingga kreasi artistik Simbah menjadi tontonan pertumbuhan
yang tak henti-henti. Proses itu terus mengalir tanpa diketahui di mana
berhentinya. Sebuah panggung terbuka yang tak kenal tutup layar.
Dalam menata pentas, Simbah tidak hanya menjadikan pentas sebagai
tempat bermain, tetapi permainan itu sendiri. Kreasi-kreasinya tidak
berakhir sebagai bentuk, tapi sebagai konsep dan penafsiran. Kita
merasakan ada ruang, ada cahaya, ada energi, ada tenaga yang dipancarkan
oleh penataannya, sehingga saraf-saraf terangsang dan nafsu untuk
berdialog juga muncul. Simbah berani melakukan dialog dengan apa yang
sudah pernah dicapainya, sehingga penataan artistiknya terasa hidup,
aktual, tetapi ramah.
Tak jarang Simbah mencoba diri dengan
melakukan langkah-langkah pembalikan, sehingga terjadi distorsi dan
ketidakseimbangan. Namun, secara fantastis kemudian muncul harmoni baru
yang memiliki dinamika lain yang tak jarang memberikan surprise.
Petualangan batin tersebut membuat pesona yang sulit diterangkan, karena
begitu dibicarakan menjadi kehilangan arti. Peristiwa batin itu hanya
bisa dialami. Pada suatu kali, misalnya, ia pernah tiba-tiba menyarankan
agar set yang dibuat untuk pertunjukan yang berjudul DOR (Teater Arena
TIM) dibalik. Tokoh Hakim, pemain utama, ketika mengadili perkara
disarankan membelakangi penonton, karena yang penting adalah para
terdakwa. Ini langsung diprotes oleh pemain yang memerankan Hakim,
karena ia merasa dirugikan lantaran selalu membelakangi penonton.
Tetapi, apa yang terjadi kemudian menakjubkan. Setelah dibalik, muncul
nuansa baru. Ternyata tokoh utama dalam cerita itu bukan Hakim melainkan
Terdakwa.
Sebagai penata artistik, Simbah adalah seorang yang
gampang-gampang angel. Ia bisa mengalir ke mana saja dengan lentur dan
bahkan semena-mena, kalau ada kecocokan. Dalam keadaan seperti itu, ia
menjadi seorang bapak, seorang kakak, seorang sahabat yang ramah dan
ngemong. Tapi, kalau sudah terbentur pada soal-soal prinsip, ia bisa
keras dan angkuh. Tak segan-segan meninggalkan pekerjaan.
Tak
banyak penata artistik yang melihat dengan mata seperti Simbah. Visinya
tentang ruang—yang bukan hanya sebagai tempat peristiwa berlangsung,
tetapi pelaku peristiwa itu sendiri—membuat penataan artistik itu tidak
lagi sekadar pelengkap, tetapi sudah merupakan sebuah teater
tersendiri. Lama sebelum apa yang kini sangat populer sebagai karya
instalasi dalam seni rupa, sebenarnya itu sudah dilaksanakan oleh Simbah
secara diam-diam di TIM.
Hanya dengan layar robek-robek akibat
diguyur hujan, kain-kain bekas dan batang-batang dolken atau bambu,
Simbah sudah berhasil menelurkan berbagai nuansa yang mengingatkan kita
pada apa yang terjadi dengan karya-karya yang menyebut dirinya instalasi
sekarang ini. Simbah telah melakukan sebuah langkah besar untuk teate,
yang masih belum tercatat oleh para pengamat.
Yang sudah mulai
muncul sekarang adalah semacam gaya, meniru bagaimana Simbah
memanfaatkan layar, wing, kain-kain, dan sebagainya. Idiom-idiom Simbah
sudah menjadi "tradisi baru" dalam penataan artistik. Tapi, ada apa di
balik gaya tersebut, alasan apa yang menyebabkan Simbah memposisikan
teater sebagai sebuah peristiwa spiritual, masih belum tertangkap secara
luas. (Putu Wijaya,Dramawan dan Sutradara/Tempo, 29 Juni-05 Juli
2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar