bersama dalam bahagia bersatu dalam duka

Jumat, 21 Desember 2012

SEJARAH TEATER

Pada masa Yunani kuno manusia saat itu mempunyai kepercayaan kepada dewa-dewa. Diantara dewa-dewa itu menurut kepercayaannya, dewa utama yang paling ditakuti adalah dewa Zeus, yang menurut keyakinan mereka mempunyai dua orang putera, yaitu dewa Dyonesos dan dewa Apollo. Sifat kedua dewa bersaudara itu jauh berbeda, dewa Dyonesos dikenal sebagai dewa penghancur, karena itu amat ditakuti. Sebab bila dewa Dyonesos murka, maka terjadilah bemacam-macam bencana seperti kemarau yang panjang, wabah penyakit menular, kematian dimana-mana, dan sebagainya. Sebaliknya dewa Apollo inilah yang memberikan kesuburan, kemakmuran dalam bentuk musim hujan dan panen yang melimpah. Bila tanaman subur, hewan-hewan gemuk, manusia sehat, makmur dan hidup tenteram, maka ini merupakan tanda bahwa dewa Apollo sedang singgah di dunia.
Untuk kedua dewa tersebut, rakyat Yunani amat memuliakannya dengan tata cara persembahan yang berbeda. Dalam waktu-waktu tertentu rakyat mengadakan pesta ria di suatu tempat yang telah ditentukan. Mereka yang tidak datang dianggap berdosa dan akan menerima kutukan. Karena itu pada pesta itu, rakyat dari berbagai penjuru daerah datang beramai-ramai ke suatu tempat pesta. pesta ria ini diadakan di tanah lapang luas, biasanya diapit oleh gundukan-gundukan tanah atau dikelilingi oleh gundukan tanah. Pesta ini memakan waktu cukup lama sampai berminggu-minggu, sehingga mereka membawa perbekalan dari rumahnya masing-masing. Tempat pesta tersebut dapat menampung orang dalam jumlah yamg banyak sekali, dan berbentuk arena. Di tengah-tengah arena tersebut terdapat "pusat persembahan" yang disebut "teatron".
Teatron ini berupa podium tanah yang dibentuk semacam ruangan. Di sinilah orang-orang berkumpul mempersembahkan "sesajen" (persembahan) untuk para dewa. Agar doa dan sesaji (persembahan) mereka diterima oleh dewa, maka orang-orang menari-nari di sekeliling persembahan tersebut. Tari-tarian untuk dewa Apollo dilakukan secara meriah. Orang-orang menirukan gerak-gerik binatang. Ada yang berselubung kulit domba sekaligus menirukan gerakan domba, ada yang berselubung kulit harimau sekaligus menirukan gerakan harimau, dan sebagainya. Baik para penonton maupun para penari diperbolehkan saling mengejek sesuka hati, sehingga suasana betul-betul meriah dan gembira. Suasana demikian disebut "co-mos", yang berarti "gembira". Bertolak dari kisah tersebut, maka segala bentuk cerita yang bersifat gembira atau pertunjukan yang bersifat humor disebut "comedy" (komedi). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Dewa Apollo-lah yang melahirkan cerita "komedi".
Berbeda halnya dengan kisah persembahan kepada dewa Dyonesos. Persembahan kepada dewa Dyonesos ini dilakukan dengan penyembelihan seekor domba jantan, yang oleh orang Yunani disebut "tragos". Didasarkan pada waktu pelaksanaannya, persembahan ini (tragos) biasanya dilaksanakan pada musim rontok atau musim gugur. Menurut anggapan orang Yunani kuno, pada musim inilah dewa Dyonesos sedang murka, karena itu mereka perlu mengadakan persembahan, upacara doa dengan tari-tarian, dengan menghilangkan (tanpa) acara ejek-mengejek. Semua jenis tari-tarian tersebut menggambarkan "suasana berkabung", kemudian dilangsungkan upacara penyembelihan " tragos " tersebut. Ratap-tangis dan teriakan tragos itu disebut "tragedia". Tujuan dari persembahan tragos itu, agar musim rontok dan segala bencana segera berakhir. Kesedihan seluruh rakyat digambarkan melalui teriakan tragos waktu disembelih, sedih dan mengerikan.
Dari kisah persembahan itulah, lahirlah istilah "tragedia", yaitu kisah-kisah yang bersifat menyedihkan. Dan perlu juga diketahui bahwa dalam upacara persembahan tragos untuk dewa Dyonesos ini, para penari mencorang-coreng wajahnya serta diiringi dengan iringan musik yang sesuai dengan suasananya. Tradisi mencorang-coreng wajah ini akhirnya berkembang, dan kemudian kita kenal dengan istilah "make up" (tata rias).
Dalam perkembangan selanjutnya, bangsa yang berkuasa ialah bangsa Romawi, pada jaman Romawi, tradisi tersebut diadakan perubahan-perubahan. Bentuk arena persembahan diubah menjadi "gelanggang pertunjukan". Fungsi gelanggang arena tidak berfungsi untuk persembahan kepada para dewa, melainkan digunakan untuk "arena/gelanggang pertarungan". Yang dipertarungkan atau diadu ialah tawanan perang dengan singa atau binatang buas yang lain. Tempat penonton yang disusun bertingkat itu dapat memberikan kesempatan kepada para penonton untuk menyaksikan jalannya pertarungan dengan jelas.
Bentuk-bentuk "teatron" (pusat gelanggang atau pusat arena) itu kemudian mengalami perkembangan, misalnya dari bentuk arena lingkaran berubah menjadi segi empat, menjadi setengah lingkaran, dan sebagainya. Menurut Harymawan dalam bukunya Dramaturgi, menurut etimologisnya, teater adalah gedung pertunjukan (auditorium). Dalam arti luas teater adalah segala tontonan yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Misalnya, wayang orang, ketoprak, ludruk, srandul, membai, randai, mayong, arja, rangda, reog, lenong, topeng, dagelan, sulapan, akrobatik, dan sebagainya.
Dalam arti sempit teater adalah drama, kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas, disaksikan oleh orang banyak, dengan media, percakapan, gerak dan laku, dengan atau tanpa dekor (layar dan sebagainya), didasarkan pada naskah yang tertulis (hasil seni sastra) dengan atau tanpa musik, nyanyian atau tarian.
Pertunjukan drama disebut juga sandiwara. Kata sandiwara itu dibuat oleh P.K.G. Mangkunegara VII almarhum sebagai pengganti kata toneel, yang pada hayatnya sudah mulai mendapat perhatian di kalangan kaum terpelajar. Tetapi, pada waktu itu di lingkungan kaum terpelajar itu yang dipergunakan masih bahasa Belanda. Kata baru "sandiwara" dibentuk dari kata "sandi" dan "wara", sandi (Jawa sekarang) berarti rahasia, dan wara (warah Jawa) adalah pengajaran. Demikian menurut Ki Hadjar Dewantara, sandiwara adalah pengajaran yang dilakukan dengan perlambang.




http://my-name-is-sedre.jimdo.com/2009/05/09/pengetahuan-dasar-teater-dan-drama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar