kumpulan puisi orang banua |
Ali Syamsudin Arsi
Sungai di Mataku
Luka
sungai itu belumjuga terobati
Walau
lumut tak mau mengerti
Sedang
kita sudah bias bermimpi
Bahwa
sungai tak mungkin mati
“Siapa
yang tidur lelap di perutmu itu, sungai ?”
“
Ikankah itu ? “
“Perahu
? Batu ? Pasir ?
Atau
debu-debu dari jalanan di sisimu ? “
“Aku
sudah biasa dengan luka ini ,”
Kata
sungai di suatu pagi
“Tapi
kulihat airmata di pipimu, sungai,”
Sungai
berlari dan terus berlari
Lika
itu mendekapnya
Tetapi
sungai tetap berlari
Seakan
sungai berkata padaku.
“biarkan
aku di sini,sendiri,
Dan
luka itu adalah aku sendiri
Ariffin nor
hasby
Bulan di Kali Martapura
Bulan di kali Martapura
Berulang kali
orang menyaksikannya
Mengantarkan
mimpi manusia keseberang
Setelah malam
jatuh di pagar jembatan
Ada cahaya yang tenggelam
Dipukul musim
yang garang
Ketika
orang-orang masih termenung
Di jukung-jukung
Menyeberanglah,
orang-orang mengajakku
Tapi dilangit
ada ajakan lain menuinggumu
Setelah
pemandangan waktu melahkan lampu-lampu
Kota membasuh
tatapan-tatapan keruh
Orang-orang
berdiri sampai subuh
Tak tau arah
pulang seluruh langkah !
Bulan
di kali Martapura
Orang-rang
tak ingat lagi
Siapa
yang menyimpan airmata
Ketika
jukung-jukung tersesat dalam hatimu
Arsyad indradi
Doa sungai
Sungaiku sungai darahku
Darahku
Lukaku
Cuka
Karena dosa darahku
Luka
Karena dosa
Lukaku cuka
Lukaku Kau pun luka
Cukaku Kau pun cuka
Alir sungaiku alir perih duka-Mu
Maka kusungaikan doaku
Ke muara kasih-Mu
Diah Hadaning
Sajak Pagi Muara Kuin
-bagi Penyair Hijaz Yamani
Menyusuri Muara
Kuin pagi-pagi
Kudengar
Banjarmasin bernyanyi
Kulihat
Martapura menari
Kureguk kopi
perahu diseduh
Dengan tangkai
lubuk hati
Menyusuri Muara
Kuin pagi-pagi
Ada yang bangkit
dari ritme kesederhanaan
Bermula di lunas
kelotok perempuan tabah
Membela-belah
hamparan sungai Martapura
Kecoklatan sarat
beban
Janjikan
serangkaian irama kehidupan
Sebuah nyanyian
paling sederhana
Dari bumi
khatulistiwa
Lima tahun yang
lalu pernah kusyairkan
Coba bayangkan
kerut wajah dalam angan
Kusalami pagi
ini harimu dini
Muara bersaksi
Menyusuri denyut
hati pagi-pagi
Wajah-wajah
muncul dan tenggelam
Di percik buih
lunas perahu
Di desir lekotok
tua berlalu
M.S.
Sailillah
Sungai Martapura
hindau kemuning
bulan jatuh setangkai
menyayat
sedu-sedan sang perawan dan
tambangan
alahai sungaiku,
sungai hatiku
dari hulu
memikul keranda, menggotong akar
tuba
menggoncang
lanting-lanting menghempas
nahkoda
arusmu telah
diracun beribu tagar
dirancu kuman,
dipacu bumi menggelepar
sungaiku
sejak dahulu
menyunting rembulan di rambut
perawan
merajah jantera
hari-hari malang di jantung kota
kuaklah
jaring-jaring di hatimu
redakan angin
yang menyisir rembulan
telan tangismu
telan ilung batu
telan awan batu
di muaramu
Eko
Suryadi WS
Sungai Luka
Tanah air mata
ini
Adalah
puisi-puisi yang ku tulis
Tanah yang
kehilangan pohon
Sungai
yang kehilangan muara
Mimpi
yang kehilangan malam
Tanah air mata
ini
Musim
yang ditawan
Catatan
penghujung tahun
Ditulis
di buku kemarau
Dengan
ranting-ranting kering
Tanah
air mata ini
Kita biarkan
berdarah
Tanah
air mata ini
Adalah kita yang
menggiring kata-kata
Ke
sungai luka
Hajriansyah
Sungai Adalah
Kenangan dan Mimpi yang Terang
Jejak-jejak telah dihapus bersama genangan
Sampah yang digerusnya taoi terus saja
Kecoklatan airnya mengalir perasaan manusia
Selayaknya pengembara yang mengayuh
Jukungnya ke muara-muara harapan
Sungai adalah kaca bening
Di permukaannya selalu terpantulkan wajah yang
Bingung, entah milik siapa.
(mungkin juga wajah kita sendiri) yang mencari
Ku luhuk-luhuk tersembunyi
Sungai adalah jalan
Di atasnya perahu kita dilarutkan
Entah ke pencarian yang mana
Entah ke pencarian untuk apa
Hamami
Adaby
Kota 1000 Sungai
Tak mungkin
menolak geriap sajak
Yang lahir di
tengah riak kota 1000 sungai
Mengurai perahu
bertebar hilir-mudik
Hingga luruh
matahari
Tak mungkin
menolak geriap sajak
Yang lahir di
tengah riak kota 1000 sungai
Orang-orang
sibuk sendiri
Gedung pencakar,
supermarket
Kantor dan
pertokoan
Ibu sedang
berkotek amboi
Tak mungkin
menolak geriap sajak
Yang mekar di
tengah riak kota 1000 sungai
Dandan riasan
wajahnya, aduhai
Tak mingkin
kutolak geriap hati
Yang besar dalam
napas kota 1000 sungai
Dan lift dan
tangga-tangga supermarket
Hijaz Yamani
Kali Martapura
Kali
Martapura airnya coklatnya
Mendesir-desir
pada tepi lanting-lanting* tua
Banjarmasin
kotaku di liku-likunya
Bertepi
ngedung-gedung pasar baru
Disini
tempat perenangan segala yang bertaruh pada hidup
Seolah-olah
tidak pupus liuk-liuk yang bermanusia
Dan
ada juga orang-orang letih di sini
Tiduran
di samping jembatan panjang
Kerongkongannya
menggelepar-gelepar dahaga
Oh,
rindunya rumah-rumah tempat bermimpi tak berembun
Ohoi
dukuh-dukuh berkayuh-kayuhan
Buah
dadanya berkeliaran dalam baju hitam
Di
wajah berkerudung sutra-jalang matanya
Di
kaliku beratus benda menggetari air
Sedang
sinar mencerah dimataku
Dan
mereka kuperam dalam hati rindu
-Hai
segala pemghuni pasar di atas kali
Mari
kita tawar-menawar dan bermurah hati
M.
Rifani Djamhari
Potret Wanita Tua Mengarus Sungai
Ketika
kumelintas di jembatan itu
Matahari
bercermin tegak
Di atas riak
sungai Martapura
Yang sedang
pasang kekuningan
Mengarak ilung
mengarak sampah
Kulihat
Seorang wanita
tua di dalam peruha
Dari arah pasar
mengarus sungai
Tidak berjayuh
Karena kedua
tangannya
Menghitung uang
Di bawah naungan
tanggui
Riak sungai
menggoyang cahaya matahari
Di wajahnya
keriput
Tapi bangga
Menatap
jari-jarinya yang gemetar
Menghitung
keletihan
Menghitung
kemenangan
Kupikir
barangkali ia sendiri
Meniti hari-hari
menuju senja ini
Tapi ia begitu
damai
Membiarkan
perahunya mengarus sungai
Maman S. Tawie
Seribu
Sungai
Lewat seribu sungai aku mengalir
bersama
Arusmu
Walaupun rakit jiwa berlumur
lumpur dan darah
Dari duka bunda yang nista dan
terluka parah
Hanya karenaMu aku lintasi rawa
demi rawa
Yang terlantar dalam dengus
kemarau
Walau tertatih-tatih aku
Oleh geleparnya yang nestapa
Hanya karenaMu aku tualangi rimba
demi rimba
Yang terperangkap di tenggorakan
sunyi
Walau tersandung-sandung aku
Oleh jerit gemuruhnya yang purba
Aku pun tengadah
O, huruf-hurufMu betapa indah
Tapi darimana aku mesti mulai
mengejarnya
Sedang di semak hati
Masih membekas jejak-jejak
serigala
Lewat seribu sungai aku kian
hanyut ke muara
Walau terguncang-guncang aku
Oleh zikir angin yang menghempas
cuaca
Lewat seribu sungai
Ternyata aku belum juga sampai
Ke sumber airMu
Yang tak henti-henti mengisi
hausku
Ouih
Micky
Hidayat
Sungai Martapura
Bulan
menari-nari di atas sungai
Betapa
erotis dan gemulai
Menerbitkan
syahwat kelelakianku
Betapa
genit dan menggoda senyumnya
Mengundang
gairahku ingin memeluknya
Lalu
lalang sampan
Senantiasa
menciptakan riak gelombang
Hingga
lanting-lanting bergoyang
Hilir-mudik
sampah dan kayu hasil tebangan
Membersitkan
Tanya dan sesal berkepanjangan
:
masih adakah sungai kehidupan
Membaca
riwayatmu, O, sungaiku
Tak
habis-habis kubaca berjilid-jilid buku
Kesaksian
tetaplah menjadi misteri
Sebagaimana
usia tak pernah abadi
Rosydi
Aryadi Saleh
Kota, Sungai,
Air Mata
Adalah
kota mengaca di aliran sungai
Martapura,
mengurai isyarat, membaca dalam
Kalimat
pendek, geram di amuk badai.
Adalah
pintaran waktu, mengejar barisan laknat:
Akulah
manusia perkasa.
Adalah
kota, sungai, airmata mengalir
Dalam
balutan jiwa, memerah merah
Akulah
syair penyair, mihrab dalam geriap
Matahari,
kerlip mata hati.
Akulah
zaman, busur bertahta pintaran waktu,
Tangisan
adam hawa.
Syukrani Maswan
Sungai Kuin
Mengalir
-buat erna-
Sapa menyapa di sungai kuin
Bagai hati tak pernah malam pada sudutnya
Larut ilung pada tepinya
Menyangkut, lalu tak terasa membuka
Pintu esokmu
Diri terpasung, jukung di pasung
Arus Sungai Kuin berkata
Seperti membentak senyum di hati
Yang tak mengerti
Teka-teki
Y.S. Agus Suseno
Sungai Martapura
Sungai
apakah yang membilas tubuhmu
Sepanjang
usia?
Sungai
hibuk di tengah kota kita sungai tua
Martapura
Kelotok
dan speed-boat menabuh bubuk udara
Dengan
suara abad
Mendesak
jukung dan lanting-lanting terlambat
Masihkah
bertambat cintamu pada
Gelombangnya
yang menepikan cita-cita pada masa lalu kita ?
Adakah
masih kuning kulit perawan pesisir
Menawarkan
angan dan menggelorakan
Sungaimu
?
Sungai
Martapura sungai keruh membelah
Banjarmasin
tercinta
Limbah
pabrik dan coklat airnya masihkah menyisakan harapan
Masihkah
kau mengenang perahu-perahu kecil
yang telah bertolak ke Bandar-bandar
pengasingan
dan
diburu gemuruh ombak ke teluk-teluk
keabadian
?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar